Reformasi Polri Lebih Dari Sekedar Pergantian Kapolri menuju Transformasi Stuktural Dan Kultural

By Harian Berantas Sep22,2025 #Polri
Ilustrasi

PEKANBARU, HARIANBERANTAS- Rentetan peristiwa dalam beberapa pekan terakhir, mulai dari demonstrasi besar di berbagai kota hingga insiden pengemudi ojek online, kembali menempatkan institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di bawah sorotan publik.

Di tengah dinamika tersebut, sebagian pihak mendesak adanya pergantian Kapolri sebagai solusi. Namun, pertanyaan yang patut diajukan: benarkah pergantian figur semata cukup menjawab kompleksitas persoalan yang dihadapi Polri?

Tuntutan publik atas akuntabilitas aparat kepolisian memang wajar, mengingat Polri adalah institusi negara yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Namun, mengandalkan perubahan kepemimpinan sebagai jawaban utama berisiko menyesatkan arah reformasi. Persoalan Polri jauh lebih mendasar, menyangkut reformasi struktural, instrumental, dan kultural.

Sejak sebelum lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, semangat reformasi Polri telah digaungkan. Keseriusan itu kemudian dituangkan dalam Grand Strategy Polri 2005–2025, sebuah peta jalan reformasi yang menjadi landasan transformasi kelembagaan. Kini, tahun 2025 menjadi momentum strategis untuk melanjutkan agenda tersebut melalui Grand Strategy Polri 2025–2045.

Dokumen strategis ini tidak sekadar menghadirkan gagasan, tetapi juga mengedepankan adaptasi terhadap perkembangan teknologi, kompleksitas kejahatan, serta tuntutan transparansi publik. Dalam kerangka ini, visi Polri Presisi—prediktif, responsif, transparan, dan berkeadilan—yang digaungkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sejak 2021, menjadi motor utama transformasi.

Polri Presisi menekankan perubahan menyeluruh: mulai dari tata kelola sumber daya manusia, penguatan sistem pengawasan internal, peningkatan kualitas pelayanan publik berbasis teknologi, hingga pembentukan budaya kerja yang berlandaskan integritas. Profesionalisme aparat kepolisian kini tidak hanya diukur dari kemampuan teknis, tetapi juga dari moralitas, empati sosial, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Pendidikan dan pelatihan di tubuh Polri dituntut untuk memperkuat karakter, mengasah kepekaan sosial, serta menumbuhkan sikap humanis dalam setiap pelayanan. Hal ini tercermin dalam respons cepat Kapolri terhadap tragedi yang menimpa pengemudi ojek online dalam aksi demonstrasi di Jakarta. Langkah tersebut tidak hanya bentuk koreksi institusional, tetapi juga teladan untuk membangun empati sosial di tubuh kepolisian.

Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan menunjukkan bahwa reformasi Polri adalah agenda bersama. Perubahan tidak dapat berhenti pada figur kepemimpinan, melainkan harus diwujudkan melalui transformasi sistemik yang konsisten, berkelanjutan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *